Pada era bulutangkis tahun 1960an hingga 1990an, Indonesia muncul sebagai raksasa yang sangat ditakuti oleh setiap negara pesaing. Banyak sekali nama pemain Indonesia pada era tersebut yang membuat sejarah dan sangat ditakuuti oleh pebulutangkis siapapun. Sebut saja Liem Swie King, Rudy Hartono, Alan Budikusuma, Haryanto Arbi, hingga Susi Susanti, nama-nama tersebu sangat ditakuti oleh para rival di masa kejayaannya. Secara total, dari nomor regu Indonesia berhasil mengoleksi 13 gelar juara Piala Thomas, 3 gelar juara Piala Uber, dan 1 gelar Piala Sudirman. Sementara dari nomor perseorangan Indonesia mengoleksi 6 emas 6 perak dan 6 perunggu di Olimpiade Musim Panas, 26 emas 25 emas dan 40 perunggu dari Asian Games, dan 103 emas secara total dari Sea Games.
Namun, keemasan sejarah Indonesia mulai terhadang oleh kehadirannya pemain-pemain asing, terutama para pemain Eropa. Pada era kejayaan Indonesia, negara seperti Denmark, Spanyol, dan Inggris sangat tidak diperhitungkan dalam kejuaraan, apalagi jika bertemu dengan Indonesia. Namun di era 2000an yang baru ini, negara negara tersebut justru malah menebar ancaman bagi Indonesia. Di nomor tunggal putra, ada Jan O Jorgensn dan Viktor Axelsen asal Denmark yang menduduki peringkat 3 dan 9 dunia secara berurutan. Pemain nomor satu Indonesia, Tommy Sugiarto berada dibawah kedua pemain di peringkat 13 dunia. Kemudian, di nomor tunggal putri ada nama-nama seperti Carolina Marin asal Spanyol yang menduduki peringkat 3 dunia dan Beatriz Corrales yang juga asal Spanyol, penduduk peringkat 20 dunia. Maria Febe Kusumastuti yang merupakan tunggal putri nomor satu Indonesia, jauh tertinggal di peringkat 28 dunia. Beralih ke nomor ganda putra, Indonesia yang menyumbang nama lewat Mohammad Ahsan./Hendra Setiawan di peringkat ketiga dunia, masih dibawah Mathias Boe/Carsten Mogensen yang menduduki peringkat kedua dunia. Lalu, dari nomor ganda putri, Nitya Krishinda Maheswari/Greysia Polii yang menduduki peringkat 7 dunia masih sedikit teringgal atas ganda Denmark Kamila Rytter Juhl/Christinna Pedersen yang berada di peringkat 5 dunia. Indonesia hanya bisa melewati pemain Eropa di nomor ganda campuran, dimana ganda Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir berada di peringkat tiga dunia, unggul satu peringkat atas ganda Denmark Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen di peringkat keempat dunia.
Lalu, pertanyaan mulai bermunculan ke otak para pengamat dan pecinta bulutangkis, mengapa para pemain asal Eropa perlahan-lahan mulai menghabisi para pemain Indonesia. Mengapa manisnya sejarah bulutangkis Indonesia perlahan-lahan mulai tertutup oleh munculnya para pemain asal Eropa yang menunjukkan perkembangan yang pesat?
Smash Indonesia menganalisa bahwa fenomena ini dapat terjadi karena kebanyakan dari para pemain Indonesia secara mental tertinggal dari para pemain Eropa. Maksudnya adalah bahwa kebanyakan dari para pemain Indonesia tidak mampu menunjukkan konsistensi terhadap permainan mereka, sementara para pemain Eropa mampu. Terkadang para pemain Indonesia mampu tampil hebat dalam suatu turnamen, namun pada turnamen lainnya mereka tidak bisa tampil maksimal. Ini adalah masalah mental para pemain, kemampuan para pemain untuk bisa menunjukkan konsistensi dalam permainan. Ini yang membuat para pemain Indonesia jauh tertinggal dibanding para pemain Eropa. Oleh karena itu, ini menjadi "PR" besar bagi para pengurus bulutangkis di Indoensia, dimana mereka harus bisa mengembangkan para pemain, bukan hanya secara fisik tapi juga secara mental. Apabila mental para pemain Indonesia tidak bisa dikembangkan dan hanya mengandalkan fisik, para pemain Indonesia makin lama akan terus tertinggal dari para pemain Eropa dan para pemain dari negara asing lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar